informasi yang dapat mendukung perilaku percaya diri sehingga siswa dapat lebih kreatif dalam berfikir dan bertindak.
5.
Esensi Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Kewarganegaraan di Era Global
P
endidikan karakter merupakan pendidikan untuk “membentuk” kepribadian
seseorang melalui budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebagainya (Lickona, 1992:19). Aristoteles dalam Winataputra (2001:8) mengartikan karakter yang baik sebagai
“the life of right conduct
”
atau kehidupan perilaku yang baik dalam kaitannya dengan diri sendiri dan dengan orang lain. Karakter tersebut memiliki tig
a unsur yakni “
moral knowing, moral feeling, and moral behavior”
atau pengetahuan moral, perasaan moral dan perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar siswa mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan. Oleh karena itu yang dimaksud dengan karakter yang baik terdiri atas unsur
“
knowing good, desiring the good and doing the good
”
, tahu kebaikan, menghendaki kebaikan, dan melakukan kebaikan atau
“
habits of mind, habits of the heart, and habit of
action”
atau kebiasaan pikiran, hati dan tindakan. Pendidikan kewarganegaraan di Indonesia merupakan salah satu bidang kajian yang
mengemban misi nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui koridor “
value-
based education”
. Oleh karena itu perlu adanya paradigma baru dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan, sehingga perlu ditanamkan pengetahuan dan sikap tentang
bagaimana hidup sebagai “warga masyarakat dunia”. Suryadi (2006:32) menegaskan
bahwa revolusi gabungan internet-komputer-
world wide web
telah membentuk generasi baru, dengan nilai-nilai baru, gaya pergaulan baru, budaya baru, bahkan ekonomi baru yang disebut sebagai ekonomi digital. Komunikasi dan akses menjadi serba instan, cepat dan mudah, membuat aktivitas seperti perdagangan dan pendidikan dapat dilakukan bersama di sebuah komputer pribadi. Fenomena tersebut memicu munculnya pemikiran ulang tentang metode belajar dan mengajar, sebagaimana dijelaskan Drucker dalam
Suryadi (2006:33) yang menyatakan bahwa “bangsa yang benar
-benar dapat memanfaatkan ledakan komunikasi digital, dan menghubungkannya dengan teknik-teknik
pembelajaran baru, niscaya akan memimpin dunia di bidang pendidikan”.
Substansi pendidikan harus mampu mengintegrasikan esensi, materi dan metode pendidikan mengarah pada pengembangan citra diri dan pribadi agar menjadi manusia efektif serta pembelajaran merupakan proses pembinaan dan pengembangan totalitas potensi diri manusia (fisik dan non-fisik) secara utuh sehingga kodrati dirinya terbina, berkembang dan fungsional/ berdaya guna (
empowered)
serta berbudaya (
civilized)
dalam kehidupannya (Djahiri, 2006:54). Dari sudut pandang ini lahir tuntutan pembelajaran bersifat
multidimensional
dan multi sumber-media serta pola evaluasi. Dalam mengembangkan kurikulum dan pembelajaran di kelas, guru harus memahami bahwa kebajikan-kebajikan warga negara dan ketrampilan-ketrampilan intelektual dan partisipasi tidak terpisahkan dari sosok pengetahuan warga negara (
a body of civic knowledge
) (Wahab, 2006:65). Proses pembelajaran disamping memakai kemampuan intel juga selalu melakukan proses
emoting, spiritualizing
dan
valuing
terhadap seluruh dimensi
norm reference
yang ada (diyakini yang bersangkutan dan atau kehidupannya) sebelum pengambilan keputusan (
taking position)
(Djahiri, 2006:7). Pendekatan pembelajaran demikian diyakini dapat mereduksi dampak lajunya perkembangan teknologi yang memaksa manusia/bangsa/Negara mengglobal dalam tatanan norma baru yang dalam internet disebut
Normative Globalism
dalam kehidupan
post modernity
yang dikendalikan
world dragons and super developed technology
(Djahiri, 2006:12). Guru pendidikan kewarganegaraan di era global hendaknya mampu mengembangkan model pembelajaran agar siswa dalam menggunakan internet dapat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar